Ancaman di Balik Layar: 110 Anak Direkrut Kelompok Radikal Lewat Game Online dan Medsos

Prediksi Singapore — Dalam sebuah pengungkapan yang mengkhawatirkan, Densus 88 Antiteror mengumumkan bahwa 110 anak-anak berhasil diidentifikasi sebagai target rekrutmen kelompok radikal. Modus yang digunakan pun mengikuti zaman: memanfaatkan ruang digital seperti game online dan platform media sosial.

Jubir Densus 88, AKBP Mayndra Eka Wardhana, menyatakan bahwa kelompok ini secara masif menyasar anak-anak usia rentan, yakni 10 hingga 18 tahun. “Proses rekrutmen yang dilakukan melalui media daring sangat masif,” tegas Mayndra dalam konferensi pers, Selasa (18/11/2025).

Penangkapan Pelaku dan Modus yang Beragam

Menanggapi ancaman ini, Densus 88 telah bergerak cepat dengan menangkap lima orang tersangka. Mayndra membeberkan bahwa jaringan perekrutan ini terdiri dari dua profil pelaku yang berbeda.

Pertama, adalah para “pemain lama” yang kembali aktif merekrut anak-anak setelah bebas dari proses hukum. Kedua, adalah para pelaku baru yang baru terjun dalam dunia perekrutan terorisme.

Yang lebih mencengangkan, salah satu dari pelaku ini bahkan diketahui memiliki rencana untuk melakukan aksi di Gedung DPR RI. “Temuan inilah yang membuat kami harus segera melakukan penegakan hukum,” tutur Mayndra.

KPAI Soroti Pentingnya Peran Orang Tua

Menyikapi fakta ini, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Margaret Aliyatul Maimunah, memberikan peringatan serius kepada para orang tua. Menurutnya, kunci utama menghadapi ancaman ini terletak pada pengawasan dan komunikasi yang intensif.

“Orang tua harus membangun komunikasi yang baik dengan anak. Dunia maya anak yang terbuka bisa sangat rentan jika lepas dari pengawasan,” ujar Margaret.

Ia menekankan bahwa orang tua tidak boleh ragu untuk secara proaktif memeriksa aktivitas digital anak-anak mereka. Langkah ini bukan tentang ketidakpercayaan, melainkan bentuk deteksi dini dan perlindungan.

“Orang tua perlu sesekali melakukan inspeksi mendadak terhadap HP, gadget, atau media sosial anak. Tujuannya satu: memastikan anak aman dan terlindungi di ruang digital mereka,” jelasnya.

Fenomena ini jelas menjadi alarm bagi semua pihak. Ancaman radikalisme kini tidak lagi hanya mengintai di dunia fisik, tetapi telah menyusup ke dalam genggaman tangan anak-anak kita. Kolaborasi antara aparat penegak hukum, orang tua, dan masyarakat menjadi benteng terakhir untuk melindungi generasi muda dari bahaya yang mengintai di balik layar.